Selasa, 05 Maret 2013

Sejarah Aceh Lhee Sagoe


Dalam beberapa catatan sejarah, Kerajaan Indra Purba (Lamuri) saat itu mempunyai tiga daerah pertahanan yang sangat strategis posisinya pada masa itu, yakni: 

1. Indra Puri. >> Indra Puri dikenal dengan bandarnya Peukan Lam Ili dan juga terdapat bekas kuil hindu hingga ketika Islam masuk ke Aceh kuil tersebut dijadikan sebagai masjid (Masjid Indrapuri sekarang).

2. Indra Patra. >> letaknya dipantai laut didaerah Ladong dan bandarnya dikenal dengan Krueng Raya. Bekas bentengnya kemudian dijadikan sebagai masjid (masjid Indra Patra).

3. Indra Purwa. >> terletak dipantai laut Pasi Neudjid (Peukan Bada ) dan kawasan pertahanan Indra Purwa saat itu dinamai Indra Keusumba (sekarang dinamai Buket Seubeun, Nusa dan kawasan sekelilingnya).

Dari tiga benteng pertahanan itulah ketika Kerajaan Aceh Darussalam terbentuk dikenal dengan sebutan Aceh Lhee Sagoe. Tiga segi itulah kemudian dicatat dalam hasil riset Snouck Hurgronje dalam bukunya de Atjehers (1893) bahwa orang Aceh melambangkan bentuk Kerajaan Aceh Lhee Sagoe dengan Jeu’ee (alat penampi beras). Bagian ujung Jeu’ee yang menyempit dimaknai sebagai muara sungai (Krueng Aceh) yang berfungsi sebagai mulut tampah untuk mengumpulkan kotoran beras. 





 

Sabtu, 02 Maret 2013

BENTENG INDRA PATRA



Di sekitar Pantai Ujoeng kareung, tepatnya di desa Ladong, Kecamatan Masjid Raya, Kabupaten Aceh Besar terdapat sebuah situs sejarah tua Aceh yang hingga kini masih berdiri kokoh. Sebuah kompleks Benteng yang tidak lapuk dimakan usia, bahkan tetap tegar walau (bahkan) sempat dihantam Tsunami. Benteng ini bernama BENTENG INDRA PATRA; berjarak 19 Km kearah Barat dari ibu kota propinsi Aceh, Banda Aceh, atau sekitar 30 menit dengan berkendara kendaraan bermotor








Benteng  ini dibangun pada masa Pra-Islam, yaitu oleh Raja Kerajaan Lamuri yang merupakan Kerajaan Hindu Pertama di Aceh, tepatnya pada abad ke VII Masehi. Kala itu, benteng Indra Patra ini dibangun dengan maksud utama untuk membendung sekaligus membentengi masyarakat kerajaan Lamuri dari gempuran meriam-meriam yang berasal dari Kapal-kapal Perang Portugis. Disamping itu, benteng ini juga dipakai sebagai tempat beribadah Umat Hindu Aceh saat itu.

Karena alasan demi pertahanan & keamanan kerajaan, maka benteng ini dibangun di tempat yang sangat strategis, yakni di bibir pantai yang berhadapan langsung dengan Selat Malaka.















Benteng Indra Patra ini bahkan berlangsung hingga masa Islam di Aceh tiba. Dimasa Sultan Iskandar Muda, dengan laksamananya yang sangat terkenal dan disegani, yaitu Laksamana Malahayati (laksamana wanita pertama di dunia), benteng ini juga dipergunakan sebagai benteng pertahanan bagi Kerajaan Aceh Darussalam dari serangan musuh yang datang dari arah laut.

Saat ini, tinggal dua dari tiga benteng yang masih berdiri kokoh. Benteng Utama berukuran 70m X 70m; dengan ketinggian 4 meter, serta ketebalan dinding mencapai sekitar 2 meter.  Arsitekturnya yang Unik, Besar, terbuat dari “beton kapur” (: susunan batu gunung, dengan perekatnya (perkiraan) dari campuran Kapur, Tanah Liat, dan alusan Kulit Kerang, serta juga telur).




















Didalam benteng Utama terdapat dua buah “stupa” atau bangunan yang menyerupai kubah yang mana didalamnya / dibawah kubah tersebut terdapat sumur / sumber air bersih, yang (pada saat itu) dimanfaatkan oleh umat Hindu untuk penyucian diri dalam rangkaian peribadahannya. Selain itu, di dalam benteng terdapat juga bunker untuk menyimpan meriam serta bunker untuk menyimpan peluru dan senjata.

Cerita Singkat Amad Rhang Manyang





















                           sebuah kapal dan awaknya yg di kutuk menjadi batu

Alur cerita ini mengisahkan tentang seorang anak yang bernama Ahmad Ramanyang yang durhaka pada ibunya. Konon, kapal yang ditumpangi Ahmad ketika itu menjadi batu dan hingga sekarang masih bisa disaksikan keberadaannya di kawasan ini.


 Pada umumnya, cerita rakyat hanya berbentuk cerita lisan yang diceritakan secara turun temurun., misalnya seorang ibu menuturkan cerita kepada anaknya, kemudian anak tersebut menceritakan kembali kepada generasi berikutnya. Indonesia- yang terdiri dari berbagai suku bangsa – sangat kaya dengan cerita rakyat, legenda, mau pun dongeng. Cerita-cerita tersebut hidup di tengah-tengah masyarakat pendukungnya masing-masing. Dilihat dari khazanah cerita rakyat yang tersebar tiap-tiap daerah, tampak adanya kesamaan bentuk penceritaan antara cerita rakyat daerah yang satu dengan daerah lain. Perbedaannya hanya terletak pada versi dan warna lokal daerah masing-masing


















                                          pemandangan alam yang indah di sekitarnya


Cerita rakyat Aceh dan cerita rakyat Minangkabau juga terdapat beberapa bentuk cerita yang sama, misalnya cerita tentang anak yang durhaka kepada ibunya. Kalau di masyarakat Minangkabau terkenal dengan cerita Malin Kundang, pada masyarakat Aceh dikenal cerita Amat Rhang Mayang. Jika kita lihat dari segi bentuk, struktur cerita, dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, kedua cerita tersebut banyak terdapat persamaan. Selain itu, persepsi masyarakat setempat terhadap kedua cerita tersebut banyak terdapat persamaan. Selain itu, persepsi masyarakat setempat terhadap kedua cerita tersebut juga sama. Mereka menganggap cerita tersebut benar-benar pernah terjadi dan meninggalkan bekas.




Jumat, 01 Maret 2013

Renungan Kehidupan




















"Jika cobaan sepanjang sungai, 

maka Kesabaran itu harus seluas samudra. 
Jika Harapan sejauh Hamparan mata memandang,
maka tekad dan semangat itu harus seluas angkasa yang membentang.
Jika Pengorbanan sebesar bumi, 
maka Keikhlasan harus seluas jagad raya.

Demikian itulah sikap orang beriman dan yakin kepada Allah SWT."